Mendilematisasi Jadi Guru
Rasanya, sudah tak asing lagi jika kita membahas tentang serba-serbi menjadi guru. Mulai dari perangkat pembelajaran yang seabrek-abrek hingga gaji yang setidaknya bisa untuk hidup satu bulan (pas). Hal tersebut semakin menjadi sebuah dilema ketika kodrat guru adalah mencerdaskan anak bangsa untuk kemajuan negeri. Begitu besar jasa kita untuk mengantarkan peserta didik menjadi seperti apa yang mereka cita-citakan. Tapi kenapa rasanya begitu sulit untuk menekuni profesi ini?
Kalau menelusuri jati diri, aku sebenarnya tidak begitu berminat terjun ke dalam profesi ini. Aku justru lebih tertarik untuk kerja di perkantoran star up, itupun kalau bisa memenuhi kualifikasinya. Tak perlu star up pun tidak apa-apa, di Kompas Gramedia sebagai salah satu editornya (mungkin), walaupun ada ketakutan juga sih untuk terjun di dunia tersebut. Secara aku ternyata introvert. Dan akhirnya, setelah mengalami dilema dan drama yang cukup panjang dengan orang tua, aku memilih untuk menjadi seorang guru bahasa Indonesia. Kebetulan juga, aku dari dulu memang punya minat dalam dunia tulis-menulis, makanya memilih bahasa Indonesia. Maklum, tidak begitu bisa bahasa Inggris soalnya. Dari minat tersebut, aku akhirnya punya blog pribadi untuk cuap-cuap gak penting ini, tapi cukuplah untuk menghibur diri.
Setelah terjun dan tenggelam dalam dunia pendidikan ini, aku mulai menikmatinya. Aku bisa dan betah tenggelam dalam dunia ini karena untungnya aku memilih mapel yang memang aku suka dari dulu. Aku pun juga paham, jika tugas guru itu tidak hanya sekadar mengajar. Banyak juga tugas tambahannya. Tapi, entah kenapa ada hal yang menggangguku akhir-akhir ini.
Satu dua tahun di awal karir, aku merasa masih bisa mengendalikannya. Sekarang, setelah memasuki tahun keenam, rasanya ingin angkat tangan dalam menghadapinya. Siapa lagi kalau bukan tentang emosional siswa. Jujur, saat masih mengenyam bangku perkuliahan, aku lupa bagaimana makul psikologi pendidikan atau sejenisnya mengajarkan bagaimana mengontrol emosi para siswa. Kita tidak bisa bicara teori kalau sudah menyangkut emosinal para siswa. Random banget.
Aku juga paham, usia remaja memang sedang panas-panasnya. Tidak ada yang melarang untuk nakal atau malas. Itu sangat wajar dan manusiawi. Aku pun juga pernah mengalami fase tersebut. Hanya masalahnya, sulit untuk membuatnya mengerti bahwa ketika nakal/malas itu harus diimbangi dengan kesadaran untuk berbenah diri secepatnya, bukan malah semakin terkubur hidup-hidup di dalamnya. Lebih parahnya lagi, ketika ditegur dan dinasihati, mereka kadang semakin menjadi-jadi. Aku tidak mau kalau nantinya bernasib sial seperti guru yang diketapel orang tua siswa, seperti berita yang beredar baru-baru ini. Itu sungguh memprihatinkan. Dari fenomena itulah, aku hampir tiap hari mendilematisasi profesi ini.
Aku sangat berharap, para siswa segera memiliki kesadaran itu. Tidak menyepelekan guru-gurunya terutama. Apa yang keren dari melakukan sesuatu tapi tidak mau bertanggung jawab? Apa sih yang sebenarnya ingin mereka cari ketika berada di sekolah? Apa yang sebaiknya harus aku lakukan ketika berhadapan dengannya?
Ketika kesabaran setipis tisu, aku hanya mampu untuk diam dan melihatnya lekat-lekat, berusaha membaca pikiran untuk menemukan keinginannya. Ujung-ujungnya, aku menjadi acuh tak acuh. Keadaan diriku yang seperti itu akhirnya membawa pada perasaan setengah hati untuk mengajar. Ditambah lagi, hal yang lebih menyesakkan adalah ketika mereka tahu kita marah, tapi dianggapnya hanya guyonan belaka. Dan seketika itulah, aku ingat statment Paman Coki dalam PWK bersama Praz Teguh.
0 comments