DILEMMAPHOBIA - Bab 1

            Hana Yamano.

Bunga yang gersang terkikis kemarau.

Akibat pekat hitam masalah tiada akhir.



Aku ingat. Di sudut ruangan menangis terisak-isak sambil tangan dan kaki terikat tali putih yang usang, mengabaikan orang yang duduk di sofa cokelat sambil menatapku tiada henti. Tentu saja, aku tak sudi melihat wajah mereka yang telah membunuh ibu. Kenapa tak ayah saja yang kalian bunuh. Gerutuku dalam hati penuh kesal ingin memaki.

“Sampai kapan kau menangis?” ucapnya pertama kali setelah sekian lama diam hanya menatapku dengan sinis.

Masih terisak tangis dan memalingkan wajah. Antara takut dan benci. Dayaku belum cukup untuk menghajar mereka saat itu.

“Jadi, ini yang namanya Hana.” Seseorang memasuki ruangan. Dia tinggi tegap dan mengepulkan asap yang berasal dari cerutunya. Benar saja dugaanku, orang itu adalah bossnya.

Dia mendekatiku. Jongkok dan mengarahkan wajahku yang tertunduk, dia memegang daguku lumayan kencang. Dilihatnya air mataku masih mengalir.

“Kau serius menginginkannya? Padahal kalau kujual ke luar negeri aku bisa untung banyak, lebih daripada ayahnya yang membawa kabur uangku.”

“Ya. Dia milikku. Dia bisa sangat berguna untukku kelak.”

Suara lelaki yang duduk di sofa itu mengalihkan pandanganku. Aku meliriknya. Dia menginginkanku untuk tetap tinggal. Melarang si boss untuk menjualku ke luar negeri. Aku penasaran siapa dia. Apa dia juga orang berkuasa yang lain?

Tapi, aku tak bisa melihatnya jelas. Air mata yang masih terbendung di mataku membuat samar penglihatanku. Tak mungkin dia boss juga, meski bayang samar dia terlihat masih remaja yang hanya 3 tahun lebih tua dariku.

Peduli setan dengannya. Jika dia macam-macam aku akan membalas dendam atas kematian ibuku. Hanya saja, aku harus lebih bersabar menunggu hari pembalasan itu. Tapi nuraniku berkata, aku berterima kasih padanya, sebab aku tak akan pergi ke mana pun.

“Ck, dasar!” Boss itu tersenyum kecut dan melepaskan daguku sedikit kesal. “Masih bocah sudah bisa main wanita. Siapa yang kau tiru, hah!”

“Kau!” jawabnya singkat.

“Heeeiii, begini-begini aku hanya setia pada ibumu. Nah, kalau kau memang berniat padanya, maka katakan mengapa dia harus di sini.”

“Ya, Hana!!!” teriak dia tiba-tiba.

Dia beranjak dari sofanya dan menghampiriku. Dia pun meniru cara ayahnya menengadahkan wajahku. Mataku mengarah ke arah lain. Tak sudi aku melihat anak itu meski wajahnya tepat di depan mataku. Bau rokok menguar dari mulutnya saat itu, mengatakan hal gila yang sebenarnya terjadi.

“Ayahmu menjualmu pada kami. Kau digadaikan sebagai jaminan atas utang yang ayahmu lakukan. Hahhhh…" dia menghela nafas seakan menyesali perbuatan ayahku. "Sejujurnya orang tua bangka ini meminta pendapatku saat ayahmu datang ke sini meminjam uang. 

"Dan kau tau apa? Aku yang meminta kau sebagai jaminannya. Haha, apalagi yang berharga dari keluarga miskin seperti kalian, selain harga diri anak gadisnya. Bukan begitu kan, Hana?” ia berbicara tanpa merasa bersalah sekalipun.

Aku memberanikan diri menatapnya dan mulai tak percaya. Aku tahu siapa dia. Dia si pembuat onar yang pernah berkelahi di kedai ramen ibu kala itu. Bocah SMP ingusan yang berani menantang tiga anak SMA hanya karena masalah sepele.

Ya ya, anak itu. Aku ingat bagaimana ia berkelahi dan membuat berantakan kedai ibu. Semakin kuingat saat ia melempar mangkuk dan hampir mengenaiku. Lalu, ia hanya mengatakan “Sorry” sambil menghindari tinju.

Akhir dari perkelahian itu, dia menang meski bonyok di sana-sini. Kedai ibuku sudah seperti kapal pecah. Dengan santainya ia meletakkan segepok uang untuk mengganti kerugian yang diakibatkan olehnya, dan berlalu begitu saja meski berjalan sempoyongan.

“Hei, Hana. Aku Hiro. Masahiro Kitamura. Salam kenal. Mulai sekarang, kau harus membayar utang-utang ayahmu." dia menyeringai puas padaku yang hanya bisa berlinang air mata.

Tawa lelaki paruh baya dan beberapa antek-anteknya membahana ke seluruh penjuru ruangan hanya mendengar celotehan bocah bajingan ini. Nasibku yang telah kehilangan segalanya menjadi bahan lelucon mereka. 

Tak ada lagi impian mulai saat ini.

 ***

Aku dikunci dalam sebuah paviliun paling belakang di kediaman keluarga Kitamura. Rumahnya sangat besar dan luas hampir seperti istana Himeji. Kanan dan kiri rumah dikelilingi taman yang rindang dan asri. Sungguh menyejukan. Namun, hatiku tak seindah suasana rumah ini. Kering. Sakit. Mati. Dan semua kesuraman yang ada di muka bumi ini.

Apa yang aku kerjakan selama beberapa hari berada di rumah ini hanyalah tidur dan menangis tiap kali mengingat bagaimana ibu pergi meninggalkanku. Sesekali aku memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat ini, namun tak pernah lagi bisa kulakukan semenjak aku ketahuan kabur dengan berusaha melompati pagar tembok itu. Setiap sudut rumah ini sudah dilengkapi CCTV dan penjagaan yang super ketat.

Terkadang aku mendengar beberapa penjaga sedang membicarakanku.

“Bertahun-tahun kita punya sandera, atau perempuan-perempuan yang dijual dan ditempatkan di sini, tak pernah sekalipun harus dijaga ketat seperti ini.”

“Sudahlah! Jangan menggerutu terus! Kerjakan saja! Nanti tuan muda bisa marah.”

“Kenapa tuan muda harus sampai mengancam membunuh kita semua kalau dia sampai lari lagi?”

“Memangnya aku tahu mengapa bisa begitu? Aish, kau lupa kalau tuan muda pernah bilang gadis ini akan berguna untuknya kelak? Aiiih, aku tidak tahu di bagian mana bergunanya, tapi aku tiba-tiba memikirkan sesuatu yang erotis.”

“Wow, bisa jadi gadis ini akan dijadikan selir tuan muda.”

“Tapi kalau dipikir-pikir, dia sama sekali tidak sesuai dengan tipe tuan muda. Dia seperti gadis aneh yang sama sekali tidak ada menarik-menariknya.”

“Yaa, mereka masih terlalu muda untuk memikirkan hal itu. Sudah ahh, jalankan saja maunya Hiro-san.”

Tidak peduli untuk apa diriku untukmu kelak. Saat hari pembalasan itu tiba, kau dan semua orang-orang ini akan mati. Masahiro Kitamura, pewaris tunggal keluarga Kitamura akan meregang nyawa ditangan Hana Yamano ini. Itulah, motivasi hidupku saat ini. Bila tujuan hidupku itu tercapai, aku akan segera menyusul ibu. 

Ibu.

Ibuku yang harus mati karena mencoba menyelamatkanku dari genggaman yakuza, meregang nyawa karena penyakit jantungnya dan aku tidak bisa menolongnya. Teringat bagaimana ia terbaring tak berdaya setelah berdebat hebat dengan anggota kelompok Kitamura saat itu, hingga akhirnya ia menyerah.

Ayah.

Ayah yang pergi entah ke mana membawa uang milik kelompok Kitamura. Berhutang banyak sekali entah untuk apa, yang kutahu hanya ayah memang tidak pernah bisa menerima dirinya dipecat dari pekerjaannya sebagai kontraktor. Namun, kini aku sadar bahwa ayah memang jahat. Depresi yang pernah kulihat di wajahnya adalah sebuah kebingungan. Ia memang mengambil dana proyek untuk kesenangannya sendiri, mengabaikan nasib ibu dan aku. Rencana meminjam uang kelompok Kitamura untuk mengganti kerugian hanya sebatas fantasi, ia akhirnya pergi tanpa pamit. Membuat ibuku sedih dan harus bekerja sangat keras menjual ramen agar kami tetap hidup dan untuk sekolahku.

Ayah tega menggadaikanku di tangan kelompok Kitamura.

  ***

Periode baru dalam hidupku saat ini adalah membunuh mereka, membunuh ayah yang menjadi biang keladi masalah hidupku saat ini dan orang-orang kelompok Kitamura yang semakin membuat suram hidupku saja. Ya, itulah cita-citaku meski nyali itu mungkin juga sebatas fantasi dan rasa kecewa yang teramat parah. Ibuku tak pernah mengajariku untuk membalas dendam, tapi aku sama sekali sulit untuk menerimanya.

Nafasku berhembus di dataran gersang ini. Tempat yang bisa membunuhku kapan saja. Apa iya aku punya nyali sebesar itu untuk membunuh mereka, walau sekadar untuk terbebas dari penjara ini? Apa iya aku bunuh diri saja supaya tidak harus mengalami semua kesengsaraan ini? Sebegitu menyerahnya aku akan hidup sehingga tidak ada keberanian? Aku tidak ingin menjadi pecundang. Masa kecilku yang payah tidak boleh terulang. Aku harus kuat meski itu sangat berat.

 

 

 

 

  

 

 

You Might Also Like

0 comments