DILEMMAPHOBIA - Bab 4
Aku tetap membenci
Pada semangkok ramen di tengah malam
Paviliun belakang di
kediaman Kitamura telah menjadi tempatku sejenak mengistirahatkan kesedihan
sepanjang hari. Seringkali teringat kata-kata Hiro, setidaknya aku harus
bersyukur di sini. Mungkin dia memang ada benarnya, karena Tuan Kitamura
memberikan kehidupan daripada harus meregang nyawa.
Paviliun yang nyaman, aku kembali bersekolah, dan sebuah gawai untukku belajar untuk menerima setiap pesan memuakkan dari Hiro. Perlahan aku belajar menjadi
dewasa dan mulai terbiasa menghadapi kehidupan bersama yakuza.
Perlahan pula, keadaan di
sekitar rumah ini juga berubah. Anak buah yang berjaga pun tak pernah
mengusikku. Bahkan Tuan Kitamura sudah sangat jarang menghardikku di sini, ia
sangat sibuk dengan bisnisnya. Hiro? Aku harus terus waspada. Dia nekat dan
sangat gila. Aku tak mau dia punya kesempatan untuk meniduriku lagi. Rasa sakit
dan jijik itu masih membekas.
Tiba-tiba, teleponku
bergetar. Layar teleponku berubah memunculkan sebuah nama yang tak asing. Aku
mengangkatnya kesal.
“Halo…”
“Cepat datang ke gudang
penyimpanan anggur. Aku menunggumu.”
Suara di seberang sana
segera mematikan teleponnya. Apa lagi sekarang? Aku pun mencari sebuah
gunting, lalu kubawa menuju gudang penyimpanan anggur untuk berjaga-jaga kalau
dia macam-macam.
Aku tiba di depan gudang penyimpanan anggur. Tempat itu
berada tak jauh dari paviliunku. Lalu aku masuk dengan berani tanpa memikirkan
apa yang terjadi nantinya. Huh, aku mungkin sudah biasa menghadapi bajingan kecil Kitamura
itu.
“Lama sekali!” hardiknya
yang sedang duduk di atas sebuah meja.
“Sekarang apa?” tanyaku
ketus.
Hiro pun menunjukkan
sesuatu yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Aku berdecih tak percaya.
Semangkok ramen instan ia sodorkan padaku.
“Tolong! Masakan aku ramen.
Aku sangat lapar. Aku tunggu sambil memilih anggur.” Kemudian ia meletakkan
ramen itu di atas meja yang baru saja ia duduki. Ada sebuah heater atau pemanas air juga di sana. Wajahnya
sangat serius ketika memintaku memasakan ramen untuknya.
Aku menghentikan langkahnya
saat berpaling, “Hah, kenapa tidak sekalian kau pukul saja aku seperti dulu
daripada aku harus memasak ramen untukmu?”
Dia pun berpaling dan menatapku tajam.
“Ada banyak cara menyiksa
seseorang tanpa harus memukulnya, kan? Hanya saja, malam ini aku ingin memakan
ramen dan sedikit minum anggur. Jadi, aku tidak ingin mengotori tanganku.”
Kami saling menatap tajam.
Suasana pun hening sejenak. Lalu, ia menghampiriku pelan dan mengatakan hal
yang memuakan.
“Jadi sekarang kau berani
membantah, ya? Kalau begitu kau juga harus memakannya.”
“Apa?”jawabku kesal.
“Harusnya kau belajar, di
mana dan dengan siapa kau berhadapan sekarang. Membantah berarti kau harus
terima risikonya. Pilihannya ada 2. Pertama, kau makan ramen sampai
habis. Atau yang kedua, aku ….”
“Aku makan ramen saja. Akan
kulakukan dengan cepat karena aku sudah sangat mengantuk.” Aku memotong
ucapannya karena aku tahu apa yang akan dia katakan. Aku sangat benci untuk
mendengarnya. Melihat wajah bernafsunya membuatku merasa jijik.
Aku menyeduh ramen instan itu, menunggunya selama 3 menit. Hiro masih belum selesai memilih anggur yang akan diminumnya.
Ia pun akhirnya menjatuhkan
pilihan. Sebotol anggur dari Perancis ia letakkan di atas meja tengah yang sama
di mana aku menyeduh ramen. Hiro pun duduk di seberang meja, menuangkan anggur
itu secara perlahan ke dalam gelas.
Tiga menit telah berlalu. Aku
segera memakannya supaya lekas pergi dari tempat ini. Hiro meminum anggur
sambil melihatku tajam. Aku benci jika ia menatapku seperti itu. Tatapan yang
tidak bisa aku tebak. Tentu saja, aku lebih memilih fokus menghabiskan ramen.
“Bagaimana rasanya? Enak
kan?” tanyanya tiba-tiba.
“Bodoh. Rasanya bodoh.
Menjijikan.”
“Lalu kenapa kau makan?”
“Kau yang minta kan?”
“Itu karena kau tak membiarkanku
mengatakan pilihan yang kedua.”
Aku diam.
“Harusnya kau biarkan aku
mengatakan pilihan kedua supaya kau tak perlu memakan makanan yang kau benci.”
“Apa? Hah, lagi pula
pilihan kedua lebih menjijikan daripada ini.”
“Kau itu keras kepala, ya?
Tidak mau mendengarkan orang lain.”
“Apapun yang keluar dari mulutmu, aku tidak percaya.”
“Pilihan kedua aku akan
memakannya, bodoh.”
Aku terdiam. Sebersit penyesalan muncul.
“Ramen itu makanan
kesukaanku. Jadi, bagaimana pun keadaannya aku tetap akan memakan ramen,
apalagi aku sangat lapar sekarang dan kau hampir menghabiskan setengahnya. Tapi setelah melihatmu makan, aku sudah kenyang. Haha…” Dia menyengir menertawakanku dan
kembali meminum anggurnya.
Aku teringat dengan gunting
yang kubawa di saku. Ingin sekali kuhunuskan gunting ini ke lehernya. Dan aku hanya bisa diam menatapnya kesal.
Setelah ia puas
menertawakanku dan meneguk anggurnya, ia kembali mengoceh.
“Hana….Hana…ckckck, kau
memang gadis bodoh. Bagaimana bisa putri mantan penjual ramen membenci ramen. Lalu kau itu anak siapa? Oiii, ramen
girl. Hahaha…..” Dia kembali menertawakanku.
“Sudah kubilang kan kalau kau ingin menyiksaku, pukul saja aku. Tak usah kau ungkit masalah ramen atau apa pun yang terjadi pada keluargaku. Kau membuatku muak."
Hiro terdiam. Aku beranjak
meninggalkannya sambil mengusap air mata yang kembali menetes setelah beberapa
hari ini tak kulakukan lagi. Ketika aku hendak membuka pintu untuk keluar
meninggalkannya, Hiro menahan pintu dari arah kiri belakangku. Tangannya yang
menahan pintu sejajar dengan mataku.
“Siapa yang memintamu
untuk pergi?”
Aku menjadi takut. Hiro pun hanya diam
sembari masih menahan pintu itu meski aku membelakanginya.
Lalu, sebuah dekapan dari
belakang mengagetkanku. Dekapan yang tak bisa kuhindari, membuatku berhenti
terisak apalagi saat dagunya disandarkan pada pundakku. Dia pun terdiam. Hal
itu terjadi beberapa detik hingga akhirnya ia angkat bicara.
“Aku benci dengan orang
yang tak jujur pada dirinya sendiri. Munafik. Semua
derita yang kau hadapi saat ini terjadi karena kau tak mau jujur pada dirimu
sendiri. Bagaimana pun keadaanmu sekarang, dari caramu memakan ramen tadi, aku
tahu kau sangat menikmatinya, kau sangat menyukainya, bahkan kau sangat
merindukannya.”
Dia pun melepas dekapannya
dan membalikkan tubuhku menghadapnya. Aku bisa melihat bagaimana raut wajahnya
yang juga kesal melihatku. Tapi aku hanya bisa mematung dengan rasa cemas jika
ia memukulku lagi setelah beberapa minggu terakhir tak dilakukannya.
“Dengarkan aku, Hana! Jadilah dirimu sendiri! Kau ini gadis payah, setidaknya jadilah diri sendiri.”
“Tau apa
kau? Pergi saja kau ke neraka!” teriakku berani.
“Terserah kau saja……”
Beberapa
detik dalam hidupku serasa berhenti seketika. Hiro menciumku tiba-tiba. Tepat
di bibirku. Masih terekam jelas bau anggur yang menguar di bibirnya.
Aku mendorong tubuhnya supaya ciuman ini berakhir. Aku
menatapnya tak percaya. Aku lengah.
“Hana… Coba kau gunakan
saja gunting yang kau simpan di sakumu itu untuk menusukku. Aku ingin
membuktikan bahwa aku salah menilaimu sekarang.”
Dia pun tahu aku menyimpan
gunting di saku yang memang kubawa untuk keadaan genting. Namun, aku langsung
bergegas meninggalkannya saat Hiro tak lagi menahan pintu keluar.
***
Aku terbukti menjadi orang
payah lagi. Aku selemah ini. Banyak hal yang tidak bisa kuduga dari sosok Hiro
meskipun selama ini aku berusaha keras menjaga diriku.
Bayangan rasa takut di masa
lalu, tentang Hiro yang berbuat tidak senonoh padaku kembali mencuat. Aku
seperti tak punya harga diri lagi.
Paginya, aku bersiap ke
sekolah. Aku berangkat pagi-pagi benar sebelum sinar matahari menyingsing
terang. Aku tak mau bertemu dengannya pagi ini.
Dalam perjalanan, aku bertemu dengan empat pria
dewasa yang sedang mabuk di sebuah gang kecil, yang menjadi jalan pintas menuju ke sekolah. Aku memang gegabah dan mengabaikan jalanan yang masih sepi. Gang kecil yang biasa kulewati ini pun
juga masih gelap, tidak seperti biasanya yang banyak orang ikut
berlalu-lalang melewatinya.
Mereka pun menggangguku,
persis seperti kejadian di toilet pria akibat Rin Maiko. Aku kembali tersudut
sambil terus mengumpulkan keberanian untuk melawan. Meski aku sudah mencoba
menghardiknya, rasanya tenagaku memang tak sebanding kekuatan empat pria
dewasa itu.
Aku melawan mereka
semampuku. Tapi kedua tanganku ditarik sehingga aku tak bisa menghardiknya
lagi. Mereka menyentuh hampir menyentuhku hingga sorot
lampu mobil di ujung gang menyilaukan kami. Salah satu dari mereka memaki orang
yang menyorotkan lampu mobilnya kepada kami. Suara berat yang tak asing
menyadarkan mereka.
“Apa yang sedang kalian? Apa kalian belum puas bermain perempuan di club-ku semalam?”
“Tuan Kitamura?” Mereka
kaget dan melepaskan tanganku.
“Tinggalkan gadis itu sebelum
kesabaranku habis.”
Mereka pun membungkuk dan pergi meninggalkan aku. Mereka benar-benar ketakutan. Tuan Kitamura menatapku tajam. Ia
menghampiriku.
“Masih terlalu pagi untukmu
pergi ke sekolah.
Aku hanya menunduk dan mengangguk pelan.
“Lalu kenapa kau berangkat
sepagi ini?”
“Aku hanya tidak mau terlambat lagi.”
“Apa kau lupa tentang
daerah ini?”
Tuan Kitamura kembali mengingatkanku akan bahaya daerah sekitar tempat tinggal kami jika masih dalam keadaan gelap dan sepi. Orang-orang yakuza dari berbagai kelompok memang biasa masih berkeliaran.
“Maaf.” jawabku singkat.
Tuan Kitamura menghela
nafas cukup panjang, terdengar seperti kelelahan dengan kesibukannya. Lalu, dia
mengatakan hal yang sebenarnya tidak kuinginkan saat ini.
“Masuklah ke mobil. Lebih
baik kau berangkat dengan Hiro nanti.”
Membantah Tuan Kitamura
memang tidak pernah bisa kulakukan, tak semudah aku membantah anaknya.
Bibi Shinai pernah mengatakan Tuan Kitamura adalah orang yang sangat keras, kolot, dan bisa menjadi sangat kejam.
Hiro menatapku setelah
ayahnya menceritakan apa yang terjadi. Aku hanya bisa menunduk.
Bibi Shinai juga terlihat cemas saat mengetahuiku diganggu orang.
“Hana, mulai sekarang kau
harus berangkat bersama Hiro ke sekolah. Apa kau mendengarku?” kata Tuan
Kitamura sambil membuka sepatu dan dasinya.
“Baik.”
Tuan Kitamura pun berdiri
dan mulai beranjak menuju kamarnya.
“Ya Hiro, kalau kau tidak
bisa menjaga Hana seperti janjimu padaku dulu, aku akan benar-benar
menjualnya. Kau mengerti?”
Hiro masih membisu dan
menatapku tajam. Sementara aku yang mendengar perkataan Tuan Kitamura menjadi
bingung. Apa maksudnya? Menjagaku?
“Ya, Shinai. Buatkan aku
teh hangat dan bawa ke kamarku.”
“Baik, tuan.”
Tuan Kitamura dan Bibi
Shinai pergi meninggalkan kami berdua yang masih mematung. Sisa tenagaku
kukeluarkan dengan meninggalkan Hiro perlahan kembali menuju pavilliun dan
melupakan saja perkataan Tuan Kitamura yang jika semakin kupikir akan semakin
membuatku lelah.
“Ceroboh.” kata Hiro
singkat yang kudengar dan ia pun ikut berlalu.
Aku menyenderkan kepalaku di tembok pagar dekat gerbang rumah sambil menunggu Hiro keluar. Titah Tuan Kitamura adalah mutlak yang tidak bisa aku hindari. Perkataannya yang akan menjualku memang bukan main-main, karena sejak awal memang itu niat dia membawaku, setelah ayah menggadaikanku.
Hiro akhirnya keluar.
“Cepatlah!” Dia berjalan cukup cepat mendahuluiku begitu saja sampai aku
kewalahan untuk menyusulnya. Aku hanya berjalan mengekorinya dari jarak yang
cukup jauh. Baru saat ia berhenti untuk menunggu waktu menyebrang di lampu
merah, aku baru mampu mengejarnya.
Aku berdiri menunggu di
sampingnya. Dia hanya diam, tak banyak bicara seperti biasanya atau memintaku
menuruti kemauannya yang aneh-aneh. Aku memang tak ingin bicara dengannya saat
ini, apalagi semenjak kejadian ramen di gudang penyimpanan anggur itu.
Sesekali aku meliriknya yang masih sabar menunggu menyebrang. Raut wajahnya memang
berbeda. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaan ia pagi ini, tapi segurat
kekecewaan terlihat dari bagaimana ia membungkam diri dalam diam saat ini.
***
Sepulang sekolah….
“Hana, kau dipanggil
Hiro-san ke atap.” Naoki, salah satu anak buah Hiro datang menghampirku.
“Baiklah…” jawabku santai.
Aku meniti satu demi satu anak tangga dengan penuh keraguan. Sesampainya aku di atap, aku melihat Rin Maiko digandeng Hiro. Sepertinya mereka akan pergi bersama sepulang sekolah.
“Hiro-san, ada Hana.” kata
Naoki.
“Ohh, kau sudah di sini
yaa. Itu buku-buku tugasku. Tolong dikerjakan. Oiya, ini sekalian kerjakan PR
matematikanya Rin. Kau harus selesaikan ini besok pagi.”
“Baik.” jawabku pasrah tanpa banyak alasan.
“Hiro-san, kalian mau pergi
ke mana?” tanya Naoki.
“Kami mau pergi ke karaoke.
Anak kelas satu sepertimu tidak boleh ikut. Jadi pulang saja, yaaa….” jawab
Rin dengan centilnya.
“Dengan Kato dan Tama
senpai juga?”
“Iyalah, sekali-kali
hiburannya ke tempat karaoke, jangan taunya cuma berkelahi.” jawab Tama salah
satu tangan kanan Hiro.
“Hiro-san membawa Rin-chan,
senpai tidak membawa wanita juga?” gurau Naoki anak kelas satu yang masih polos
itu.
“Tenang saja. Saori dan
Fumie sudah menunggu di bawah. Hari ini kami berenam akan bersenang-senang.
Benar kan, Hiro-san?” kata Rin.
“Yaa…” jawabnya singkat.
“Ayolah. Jangan banyak
tanya kau, Naoki. Ikut saja. Akan kukatakan kalau kau seumuran dengan kami.
Boleh kan, Hiro-san?” kata Kato sambil merangkulnya.
“Yaa…Ayolah, keburu hujan
nanti.” kata Hiro.
Mereka pun pergi begitu
saja setelah mengabaikanku yang masih memunguti buku-buku milik Hiro. Langit
saat ini memang terlihat muram, sehingga aku harus bergegas pulang.
Payungku tak cukup untuk
melindungi diri dari derasnya hujan. Bajuku basah kuyup sepanjang perjalanan
menuju rumah. Saat melewati genangan air di dekat trotoar, sebuah sedan hitam
melintas dan benar saja air genangan itu langsung membasahiku.
“Kyaaa…..” teriakku
spontan. “Hei, hati-hati kalau bawa mobil. Duh, untung buku-bukunya tidak ikut
basah.”
Mobil yang tadi melintas
pun berhenti. Seorang pria muda keluar dari mobil itu dengan membawa payung.
Pria itu menghampiriku.
“Maaf, maaf. Aku tidak
sengaja. Kau baik-baik saja kan?” kata pria itu.
“Lain kali hati-hati bawa
mobilnya, bajuku jadi kotor.” gerutuku.
“Maaf, maaf. Sekali lagi saya minta maaf.”
Aku langsung mencari tisu dalam tas dengan kesal.
“Oh, maaf. Bolehkah saya
bertanya tentang alamat ini? Apa kau tahu tempatnya di mana? Saya sedang
mencari rumah kakek saya.” tanya pria itu.
Aku melihat tulisan pada
secarik kertas yang ia sodorkan. Tulisannya agak kabur karena basah terkena air
hujan. Walaupun masih kesal, aku memberi tahu di mana alamat itu.
“Oh, ini. Lurus saja, nanti
ada perempatan belok kanan. Lurus terus sampai ada pertigaan kemudian belok
kiri menaiki bukit sampai menemui toko roti Ayame. Ada gang di sebelahnya masuk
saja sampai ada perempatan lagi, kemudian belok kanan sekitar 200 meter
kemudian belok kiri memasuki sebuah gang di sebelah toko cinderamata Cosmic,
lalu….
“Maaf. Tadi bagaimana?”
Pria itu memotong arahanku.
Kami berdiam selama
beberapa detik.
“Oh, maaf. Aku terlalu
cepat menjelaskan ya?” Aku memang masih kesal.
“Iya…haha.” Pria itu
tersenyum karena tidak paham dengan arahanku.
“Kenapa tidak pakai maps
saja?”
“Sudah kucoba, tapi
sepertinya jaringanku sedang tidak baik. Apalagi hujan deras seperti ini. Kalau
berkenan, apakah kau mau mengantarku ke tempat kakekku ini? Sekalian kutraktir sebagai permintaan maafku.”
Aku memandangnya sedikit
ragu.
“Oh, maaf. Aku lupa
memperkenalkan diri. Namaku Taro Matsuda.” Pria itu sedikit membungkuk saat
memperkenalkan dirinya padaku.
“Aku Hana Yamano. Baiklah. Aku akan
mengantarmu ke sana.”
“Ah, terima kasih.”
Di kafe milik kakek
Matsuda, aku duduk ditemani Taro sambil meminum secangkir cappucino. Entah
bagaimana kakek Matsuda membuatnya, rasanya begitu nikmat. Kami pun bercerita
tentang banyak hal yang berbeda dari Osaka dan Tokyo. Taro berasal dari Tokyo, setelah orang tuanya dipindahtugaskan di sana. Dia ke Osaka karena sudah
lama tidak berjumpa dengan kakeknya.
“Terima kasih sudah mau
mengantarku ke sini. Sekali lagi aku minta maaf, sudah membuatmu semakin basah
kuyup tadi.”
“Tidak apa-apa. Nanti juga
kering.” Sesekali aku mengelap rambutku dengan handuk yang diberikan kakek
Matsuda padaku.
Aku baru saja memiliki seorang kenalan yang sangat baik hari ini. Taro dan kakeknya. Pertemuanku dengan Taro juga membawaku ke kafe bohemian ini. Meski aku sudah merasa nyaman, aku tak boleh memberitahu siapa pun, tentang Taro dan kakeknya atau aku dan kelompok Kitamura.
Di saat hujan sudah mulai reda, aku pun beranjak pulang.
“Hana.!” panggil Taro
yang berlari menyusulku keluar kafe.
“Ya?”
“Boleh aku meminta ID Line-mu?” pinta Taro sambil terispu malu.
“Hm?”
“Kalau tidak boleh tidak
apa-apa sih?”
“Boleh, kok.” jawabku.
Kami bertukar ID Line. Dan semenjak itu, aku memiliki
seorang teman yang mengisi kesepian ini. Aku harus berhati-hati dan tak boleh membiarkan Hiro tahu tentang Taro.
0 comments